Apa Yang Salah Dengan RUU Nikah Siri?

26 02 2010

Pada saat ini muncul kontroversi di dalam masyarakat mengenai RUU Nikah Siri yang telah masuk dalam Prolegnas 2010. berikut adalah opini saya mengenai Nikah Siri dan RUU Nikah Siri.

Pernikahan adalah ibadah

Saya sangat setuju dengan pernyataan bahwa pernikahan adalah ibadah. Saya 100% setuju. Negara pun setuju dengan hal itu sehingga produk hukum yang ada di Indonesia pun melegalkan dan melindungi institusi pernikahan (yang di dalam UU No.1 Tahun 1974 disebut sebagai ”perkawinan”).

Hal itu dapat kita lihat dalam Pasal 1 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur:

”Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Sahnya Perkawinan

Menurut Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Selanjutnya dalam Pasal (2) dinyatakan bahwa perkawinan itu dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Jadi jelas, bahwa Hukum Indonesia hanya mengakui perkawinan yang dilakukan menurut agama/kepercayaan dan wajib dicatatkan.

Untuk Apa Perkawinan Dicatatkan?

Banyak fungsi dan keuntungan dari Pencatatan perkawinan antara lain:

  • Membantu pemerintah dalam peng-administrasian kependudukan;
  • Memberi kepastian hak waris kepada istri. Hal ini dikarenakan tidak ada bukti yang legal (pencatatan) bahwa dia adalah istri yang sah. Dan apabila istri menggugat sekalipun, tetap tidak ada bukti yang sah dari istri bahwa dia adalah istri yang sah dari suaminya itu;
  • Memberi kepastian hak waris kepada anak. Karena berdasarkan Pasal 42 UU No.1  Tahun 1974, Anak yang dilahirkan (jika ibu dan ayahnya menikah siri/ tidak dicatatkan) maka tidak berhak atas warisan dari ayahnya;
  • Memberi kepastian kepada anak mengenai ayah kandungnya, karena dengan adanya pencatatan perkawinan maka dalam akta kelahiran anak dicantumkan nama ayah dan ibu kandungnya. Tetapi jika tidak dicatatkan, maka dalam akta kelahiran anak hanya dicantumkan nama ibu kandungnya saja tanpa nama ayah;
  • Dapat membantu mengendalikan tingkat kelahiran di Indonesia;
  • Melindungi wanita dari laki-laki hidung belang yang menggunakan institusi pernikahan hanya untuk melampiaskan nafsu berahi-nya saja, setelah selesai, maka dengan mudahnya dia menceraikan istrinya itu tanpa harus memberikan kewajiban atau sebagian hartanya. (walaupun tidak semuanya seperti itu)
  • Dll.

Nikah Siri

Apa itu nikah siri? Nikah siri adalah suatu pernikahan/perkawinan yang dilangsungkan tetapi tidak dicatatkan ( perkawinan di bawah tangan ). Baca entri selengkapnya »





Validitas Rekaman Sebagai Bukti Dalam Perkara Pidana

14 02 2010

rekamanBelakangan ini banyak kasus hukum yang terjadi di Indonesia yang memakai  rekaman sebagai bukti dalam persidangan. Artalyta Suryani, Anggodo Wijaya, Antasari Azhar, dll. Yang menjadi pertanyaan adalah mengenai validitas dari rekaman itu sebagai bukti dalam persidangan pidana. Saya akan menjelaskannya menurut undang-undang.

Pasal 184 ayat (1) KUHAP mengatur sebagai berikut:

Alat bukti yang sah adalah:

  1. a. keterangan saksi;
  2. b. keterangan ahli;
  3. c. surat;
  4. d. petunjuk;
  5. keterangan terdakwa.

Di dalam KUHAP tidak diatur mengenai rekaman sebagai alat bukti. Karena itu, di dalam kasus tindak pidana umum, maka pemakaian rekaman bukan merupakan alat bukti yang sah.

Tetapi, ada pengecualian pemakaian rekaman di dalam tindak pidana khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 26 A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001:

”Alat bukti yang dalam bentuk petunjuk sebagai mana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari:

  1. a. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
  2. Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.”

Berdasarkan ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP jo. Pasal 26 A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa rekaman pembicaraan seseorang dapat dijadikan sebagai alat bukti petunjuk dalam perkara tindak pidana korupsi.

Sudah sangat jelas bahwa hukum positif kita mengatur mengenai hal tersebut. Dan masyarakat hukum Indonesia bisa memilah-milah mana yang bukti yang sah dan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi hakim dalam kasus yang ditangani. Demikianlah paparan yang bisa saya berikan bagi para pembaca, semoga bermanfaat dan membuka pemikiran serta menjadi berkat bagi kita semua.





Apakah Perjanjian Tanpa Materai Sah?

2 12 2009

Banyak orang berpikir bahwa setiap mereka membuat perjanjian (apa saja), dengan jumlah berapa pun, harus memakai materai. Karena itu banyak orang yang bertanya apakah suatu perjanjian yang tidak memakai materai menjadi tidak sah?

Tujuan Penggunaan Materai

Nah, berdasarkan UU No. 13 Tahun 1985 dalam bagian menimbang huruf (a), secara implisit bisa kita lihat bahwa tujuan dari penggunaan materai adalah untuk menghimpun dana dari masyarakat untuk mencapai tujuan pembangunan nasional.

Pasal 1 UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai mengatur bahwa materai itu adalah pajak atas dokumen-dokumen sebagaimana yang diatur dalam UU tersebut.

Sekarang sudah jelaskan, bahwa materai tidak menentukan sah atau tidaknya suatu perjanjian, karena fungsi esensi dari materai adalah sebagai pajak / penghimpun dana dari masyarakat.

Penentu sah atau tidaknya suatu perjanjian

Kalau begitu, hal-hal apa yang menentukan sah atau tidaknya suatu perjanjian? Hal itu diatur dalam Pasal 1320 Bugerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), yaitu adanya kesepakatan para pihak; mampu secara hukum (cukup umur, tidak di bawah pengampuan); hal tertentu dan adanya causa yang halal. Baca entri selengkapnya »